“Aku mau jadi arsitek. Membangun rumah mewah seperti yang ada di majalah IDEA ayah.”
Jawabku dengan mata berbinar, atas pertanyaan klise yang selalu orang dewasa tanyakan saat ku kecil. Entah mereka benar-benar peduli atau hanya menguji intelektualitas verbalku. Namun dalam benakku, aku selalu berandai saat dewasa kelak, aku ingin jadi seorang Ibu. Akan kuhujani anak-anakku dengan pelukan dan ciuman berpesan --hati-hati dijalan, sayang-- sebelum mereka berangkat sekolah bersama sang ayah. Selepas itu aku bisa sibuk merapikan rumah sembari menunggu satu-dua loyang browniesku matang. Menjelang petang aku akan menyirami anggrek dan kaktus di pekarangan. Malamnya, ku siapkan hidangan lezat untuk suami dan para buah hatiku. Menjadi pelipur lara bagi mereka. Hidup akan seperti itu, pikirku.
Aku sungguh naif saat itu. Yang aku tahu tentang menjadi dewasa adalah menjadi seorang Ibu, seperti Ibuku. Ibu rumah tangga yang cekatan dan penyabar. Ibu yang pintar masak. Ibu yang guyon namun galak. Ibu yang mengajarkan rasa syukur. Ibu yang seperti Ibuku.
Lantas aku beranjak dewasa. Mimpiku teralihkan. Ambisi baru, mulai menjadi sumber inspirasiku. Memiliki kompetensi yang baik guna masuk sekolah menengah favorit. Kuliah. Menyelesaikan gelar sarjana dalam waktu sesingkat mungkin. Memiliki pekerjaan yang laik.
Ketika satu per satu mimpiku (kurang lebih) terwujud, orang-orang dewasa lainnya mulai datang dengan pertanyaan baru.
Kapan menikah?
“Yah…”
“…kalau bukan Sabtu, ya Minggu.”
Jawabku dengan mata berbinar. Nangis. Dalam hati.