The Windflower: Semester Satu.
April 14, 2017Siang itu kelas terasa begitu cepat berlalu. Ya, memang. Sekarang baru pukul sebelas lewat dua menit. Aku dan William lekas saja berhambur keluar kelas. Algoritma 101. Pusing sekali aku melihat barisan codes yang begitu asing. Tidak heran. Aku kan baru semester satu.
Ramai sekali. Ada apa? William menarikku untuk turut mengikutinya ke arah kerumunan. "Apa sih ini", tanyaku. "Oh LINE goes to campus! Main yuk Mut!", serunya kegirangan. William ini teman yang kubenci sekaligus kusayangi dalam waktu yang bersamaan. Dia adalah pria ras chinese (oh, aku tidak rasis. Memang apa salahnya menjadi jawa atau batak atau bahkan chinese, hah?) yang lahir dari keluarga kaya, suka berpesta pora, beli iPhone 5s sesaat setelah diluncurkan, dan malas kuliah. Namun, aku sangat menyayangi dan menghargai kebaikannya padaku. Dia mati-matian melarangku untuk bersentuhan dengan alkohol dan kehidupan malam. Dia bisa berapi-api saat bercerita tentang wanita dan dunia paranoia. Dan betapa bahaya dampaknya bagiku. Dia berhati mulia.
Kembali ke LINE event. William memaksaku memotong barisan karena disana ada teman satu jurusan kami yang sudah berbaris didepan. Aku menolak. Yaa kau tahulah golongan darah A. Rule oriented.
Aku mengantri dengan manis di barisan paling belakang. Sesekali kulihat smartphoneku, walau tidak ada apa-apa. Tidak ada orang yang kukenal di barisan ini, di depanku, sebelah kanan maupun kiriku. Ya mau bagaimana lagi. Sampai kemudian aku melihatnya.
Adrian, sudah minggu ke sekian sejak kita pertama kali bertemu. Kau yang saat itu datang berbaris dibelakangku. Aku ingat tanganmu yang bergetar saat mengetikkan namamu di kontakku. Manisnya. Kau sungguh konyol dan lucu. Aku yakin kau adalah orang yang sarkastik dan memiliki selera humor gelap. Aku suka. Aku ingat menemukan tumblrmu saat aku mulai tertarik membuat laman estetikaku sendiri di platform tersebut. Kau suka memes, Lady Gaga, dan Glee! Yaampun, aku terguncang. Aku pun suka Glee. Sungguh aku yang saat itu belum tahu apa-apa tentang musikal. Ohya! Tahukah kalian bahwa sejak pertama kali bertemu, Adrian selalu memanggil nama utuhku; Mutia. Tidak pernah sekalipun kudengar dia menyingkat namaku. Seolah namaku begitu sakral dan pantang untuk diubah pelafalannya. Oh, Adrianku.
Dan sudahkah aku bilang, bahwa Adrian ternyata satu UKM denganku. Paramabira. Adrian, kalau bukan takdir, lalu apa namanya? Kita semakin sering bertemu. Aku sangat menikmati hidupku. Aku menyayangi Paramabira dimana aku bisa menyanyikan seluruh jiwaku tanpa ada yang berusaha menghentikan. Tahukah kau bagaimana nikmatnya melakukan passion terbesarmu bersama orang-orang yang luar biasa hebatnya di bidang yang selalu ingin kau geluti? Aku tahu, aku masih tersenyum ketika menuliskan ini. Namun diluar itu semua, aku bisa bertemu dengan Adrian, dua kali dalam seminggu. Saat itu pun, aku berhenti untuk merenung. Jika masa perkuliahanku dimulai dengan begini indahnya, bagaimana bisa aku mengeluh tentang beratnya menjadi mahasiswa tiga tahun kedepan?
Sungguh, aku yang masih naif.
Rapat hari ini terasa sungguh lama dan melegakan. Akhir-akhir ini aku hampir tidak tidur demi menyelesaikan materi analisis bisnis bidang IT untuk projek yang sedang kami bangun. Tidak ada salahnya aku memesan sedikit kopi dingin lima dollar untuk menyejukkan hatiku. Selepas menyeruput kopiku sedikit demi sedikit, aku berjalan-jalan mencari tempat duduk yang rindang di area Central Park Manhattan, tak jauh dari hotel tempatku rapat dan bekerja selama dua minggu terakhir. Siang ini cukup sepi. Tidak heran, karena musim libur sekolah telah usai, setidaknya itulah yang aku dengar. Tak lama kemudian, aku menemukan sebuah tempat duduk kosong di bawah pohon rindang, di seberang sana. Oh sempurna! Aku bergegas menghampiri singgasana yang indah dan menggiurkan tersebut. Baru sepertiga langkah memasuki Bow Bridge, aku tertegun. Kaukah itu?
Langkah lebarku pun meragu. Haruskah aku menyapa? Bagaimana kalau aku salah orang. Aku terus melangkah pelan sambil menentukan tindakan, apa yang akan kulakukan ketika aku mencapai pertengahan jembatan. Melewatimu yang sedang tertunduk dengan kamera ditangan? Sesekali kau mengambil gambar pepohonan musim gugur di pinggir danau dari jembatan tempat kau, dan aku, berdiri. Langkah terakhir pun tiba. Tidak ada pilihan yang kutentukan. Aku hanya berjalan perlahan melewatimu dan bergumam, "Adrian..".
Kau sontak berbalik arah. Melihatku dengan seksama. Aku tahu itu, karena aku pun berhenti pada akhirnya. Dahimu berkerut, namun lantas tersenyum dengan begitu manisnya. Aku pun kembali ke hadapanmu, setelah tadi ku melangkah sedikit terlalu jauh. Kau masih terdiam, maka akulah yang membuka percakapan.
"Hey, been a while huh?", cakapku.
Kau masih saja tersenyum, membiarkan kameramu bergantung lepas pada tali yang terselip di belakang leher. Dengan alis yang dikernyitkan, kau pun mendekat.
Lalu berucap.
"Do I know you, miss?".
Hal pertama yang kudengar setelah lima tahun tak bersua.
1 comments
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete