A Day in the Life #2
November 02, 2016"...Ya mungkin itu karna lo selalu pulang duluan saat rapat!".
Sejumput garam tertabur rata diatas luka bernanah. Kiasan yang tepat bagi tamparan yang diludahkan dengan mantap dihadapanku. Dihadapan dua puluh lima pasang mata. Atmosfer begitu kering dan dingin, disaat jiwaku membara setengah mati. Bagaimana bisa ada manusia sekejam itu?
Apa gunanya kita saling berkeluh kesah, sebagai sejawat baik, jika malam ini kau meludahiku dgn tatapan sebusuk itu?
Apa gunanya aku yang dengan menggebu - gebu bercerita tentang kisahku, disaat aku bahkan tidak pernah berbagi semua itu dengan ibuku sendiri.
Kukira kau paham.
Lain waktu ketika kita hendak berbagi, tolong ingatkan aku. Untuk meminjamkanmu sepatuku. Agar kau tahu bagaimana rasanya bangun setiap jam empat pagi. Menghabiskan enam jam perjalanan dalam balutan buku dan pikiran yang kalut, sambil berdiri diantara ratusan pengguna kereta yg penuh emosi.
Tolong tanyakan lagi padaku mengapa aku tidak bisa hadir di latihan tahun ini. Mungkin kau sedang berfantasi tentang teman baikku yang kau taksir itu, saat aku menjelaskan alasanku yang dengan berat hati tidak bernyanyi tahun ini.
Kau pikir aku senang menjadi koordinator? Tidak. Aku disini untuk bernyanyi, bukan memohon - mohon kepada puluhan pria agar mau menjadi blackman! Tapi aku selalu ingin menapakkan kaki di organisasi ini, meski tidak bernyanyi. Aku ingin selalu berguna. Membantu organisasi yang sangat kubanggakan. Meski itu tidak pernah bertimbal balik. Hah, mimpi.
0 comments