Kami berjalan beriringan. "Hari yang melelahkan", kataku. Dia sepakat dalam senyum. Aku bersumpah serapah tentang hariku, lalu meminta maaf. Betapa keras kepalanya aku melimpahkan amarah pada seseorang sebaik dirinya. Melintasi flyover Transjakarta diselingi iringan asap knalpot yang menggebu dibawah langkah kaki kami. Dia di sisi kanan, aku di sisi kiri. Dia menyelaraskan kaki dengan langkahku. Dalam pikiranku yang kalut, masih terngiang peristiwa sore tadi, sepulang kantor.
Gerimis menyapa kami sepulang kantor sore ini. Begitu menyejukkan sekaligus mengundang kewaspadaan. Aku melangkah dengan sangat hati-hati. Heels syalan. Aku benar - benar fokus pada setiap tangga yang aku pijak, hingga aku melihat kedepan. Dia berdiri disana. Sudah di depanku. Dalam tatapan lembut, menawarkan tangannya untuk menuntunku turun. Aku tersentak --dalam diam tentunya. Dia menjadi begini. Aku sungguh tak beradab. Ku tolak tawaran budinya dengan halus. Dia tertunduk, lalu menengadah untuk mengawasiku turun sambil tersenyum.
Kini segalanya menjadi canggung. Berjalan beriringan dalam perasaan bersalah. Dia masih saja bersopan santun padaku. Menyelaraskan kaki dengan langkahku. Berjalan di sisi kanan, aku di kiri. Menaiki Transjakarta yang padat. Seorang pria berdiri untuk mempersilakanku duduk. Aku menolak, beliau memaksa (dengan sopan). Aku duduk dan limbung. "Aku tidak pernah naik busway sebelumnya. Tidak di rute ini", pikiranku kalut karena ini memang pengalaman pertamaku naik Transjakarta sepulang kantor. Sejujurnya kenyataan bahwa aku akhirnya mengambil program magang saja masih membuatku gugup. Halte Slipi - Kemanggisan (kalau tidak salah). Dia yang sedari tadi berdiri didekat pintu, lantas menghampiriku, "Ayo turun", ajaknya karena dia tahu benar bahwa aku sangat bingung. Dasar wanita udik.
Lagi, kami berada disini. Di jalur pejalan kaki. Masih berjalan di sisi kananku. Berceloteh ngalor ngidul dalam iringan penjaja makanan. Malam yang gelap dimeriahkan lampu kuning dan supir angkutan yang berisik. Kami tertawa malu - malu. Aku malu akan sikapku sore tadi, dia malu karena.. entahlah.
Mengapa dia begitu lembut? Maksudku, bukannya dia pria yang lancang, hanya saja, bukan begini dia yang kulihat ketika berada di depan teman - teman kami. Ini sungguh ganjil, namun aku sangat menyukai sikapnya.
Dia banyak bertanya tentangku. Dimana aku dilahirkan, tentang masa kecilku, hal - hal yang tidak menarik dariku, seakan penting. Oh, Tuhan. Maafkan aku. Dia sangat baik terhadapku. Ini semakin meyulitkan. Namun kuharap kau mengerti maksudku.